MAKALAH TENTANG UNDANG – UNDANG KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA YANG
DIKELUARKAN OLEH KEMENTERIAN INDONESIA
Disusun Oleh:
Nama :
Rony Fajar Setiawan
NPM :
26416678
Kelas :
4IC03
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
JURUSAN TEKNIK MESIN
UNIVERSITAS GUNADARMA
DEPOK
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan atas kehadirat Allah
SWT yang telah melimpahkan nikmat, taufik serta hidayah nya yang sangat besar sehingga pada akhirnya saya bisa membuat makalah tentang Undang – undang Kesehatan dan
Keslamatan Kerja (K3) yang
dikeluarkan oleh Kementerian Indonesia.
Rasa terima kasih juga
kami ucapkan
kepada dosen saya Bapak Haris Rudianto dan teman yang selalu memberikan dukungan serta masukan sehingga makalah
ini dapat disusun dengan baik.
Semoga makalah yang telah saya susun ini turut memperkaya khazanah ilmu serta bisa menambah pengetahuan dan pengalaman para pembaca.
Selayaknya kalimat yang menyatakan bahwa tidak ada sesuatu
yang sempurna. Saya juga menyadari bahwa makalah ini juga masih memiliki banyak kekurangan. Maka dari itu saya mengharapkan saran serta masukan dari para pembaca sekalian
demi penyusunan makalah ini agar
menjadi makalah yang sempurna .
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................
i
DAFTAR ISI..........................................................................................................
ii
BAB
1 PENDAHULUAN ……………………………………………………... 1
1.1
Latar
Belakang………………………………………………….. 1
1.2
Tujuan
………………………………………………………….. 2
1.3
Batasan …………………………………………………………. 2
BAB
2 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 3
2.1 Pengertian keselamatan dan kesehatan
kerja …………………... 3
2.2 Standar keselamatan dan kesehatan kerja
……………………… 3
2.3 Peraturan tentang keselamatan dan
kesehatan kerja …………… 5
2.3.1
Undang
undang NO.1 Tahun 1970 Tentang keselamatan kerja ……………………………………………………............ 6
2.3.2
Undang
– undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenaga
kerjaan …………………………………………………................ 11
2.3.3
Peraturan pemerintah
terkait keselamatan dan kesehatan kerja ……………………………………………………........... 23
2.3.4
Peraturan menteri
terkait keselamatan dan kesehatan
kerja
……………………………………...…………….... 24
BAB 3 KESIMPULAN
...……………………………………………………… 25
DAFTAR PUSTAKA ...……………………………………………………….. 26
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
UUD 1945 mengisyaratkan hak setiap warga negara atas pekerjaan dan penghasilan yang layak bagi setiap masyarakat. Pekerjaan akan memenuhi kelayakan bagi setiap masyarakat apabila keselamatan tenaga kerjanya terjamin. Tenaga kerja sebagai sumber daya manusia harus selalu dikembangkan, diberikan perlindungan terhadap pengaruh teknologi kerja dan lingkungan serta diberikan perawatan dan
rehabilitas.Perlindugan tenaga kerja meliputi aspek-aspek yang cukup luas, yaitu perlindungan keselamatan, kesehatan,
pemeliharaan moral kerja serta perlakuan yang sesuai dengan martabat manusia dan moral agama.
Perlindungan tersebut dimaksudkan agar tenaga kerja secara aman melakukan pekerjaannya sehari-hari untuk meningkatkan produksi dan produktivitas.
Departemen Kesehatan, Departemen Tenaga Kerja dan
departemen-departemen lain serta pihak swasta sudah mengatur keselamatan dan kesehatan kerja sehingga diharapkan pembentukan pekerja yang sehat dan
bekerja dengan nyaman dapat terealisasikan semaksimal mungkin. Dengan adanya
undang – undang yang dikeluarkan oleh kementerian Indonesia, maka para pekerja
karyawan dan buruh maka kehidupan dan kesejahteraan para pekerja tersebut lebih
terjamin dan terarah.
1.2
Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut.
1.
Mengetahui dan memahami standar dan aturan keselamatan dan kesehatan kerja.
2. Mengetahui undang-undang yang mengatur standar dan aturan keselamatan dan kesehatan kerja.
1.3
Batasan Masalah
Pembahasan makalah ini hanya terpusat pada standar dan
aturan keselamatan dan kesehatan kerja yang meliputi undang-undang yang
mengaturnya dan berkaitan dengan prodi teknik mesin.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Keselamatan kerja adalah perlindungan karyawan dari luka-luka yang disebabkan oleh kecelakaan yang terkait dengan pekerjaan. Risiko keselamatan merupakan aspek-aspek dari lingkungan kerja yang dapat menyebabkan kebakaran, ketakutan aliran listrik, terpotong, luka memar, keseleo, patah tulang, kerugian alat tubuh, penglihatan dan
pendengaran. (Mondy, 2008)
Kesehatan kerja adalah kebebasan dari kekerasan fisik. Risiko kesehatan merupakan faktor-faktor dalam lingkungan kerja yang bekerja melebihi periode waktu yang ditentukan,
lingkungan yang dapat membuat stress emosi atau gangguan fisik. (Mondy, 2008)
2.2 Standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Standar adalah sebuah patokan yang diterima dan
disetujui untuk mengukur sesuatu kuantitas dan kualitas.
Standar kualitas menyatakan sesuatu secara spesifik tetapi tanpa kuantitas yang eksak. (Wigati, 2004)
Standar ini dikategorikan menjadi dua, yaitu :
1.
Standar berdasarkankonsensus, ialahstandar yang disetujui oleh
sekelompok orang, namun pemakaiannya tidak ditentukan oleh
undang-undang
2.
Standar di bawah peraturan, adalah standar yang pemakaiannya diwajibkan oleh pemerintah
Selain penggolongan standar ke dalam standar konsensus dan standar di
bawah peraturan, masih ada penggolongan lain dengan dasar yang lain, yaitu :
1.
Standar spesifikasi, ialah standar yang menerangkan kondisi fisis.
2.
Standar peforma, ialah standar yang menentukan bagaimana sesuatu pekerjaan itu harus dilaksanakan atau apakah yang harus dicapai.
Menurut Wibowo (2018), standar
keselamatan dan kesehatan kerja adalah dokumen tertulis yang dimaksud untuk
menjaga kualitas suatu produk tertentu. Tenaga kerja yang sehat dan selamat di
tempat kerja serta optimal produktivitasnya. Standar keselamatan dan kesehatan
kerja mencakup hal-hal sebagai berikut.
1. Standar
Manajemen
Menurut Peraturan Menteri Tenaga
Kerja, standar manajemen adalah bagian sistem manajemen secara keseluruhan yang
meliputi struktur organisasi, perancangan, tanggung jawab, pelaksanaan,
prosedur ,dan pemeliharaan kebijakan kesehatan dan keselamatan kerja dalam
rangka pengendalian resiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna
tercapainya tenaga kerja yang sehat, aman, efesien dan produktif.
2. Standar
Personal
Standar personal mencakup hal-hal
sebagai berikut.
1) Sehat
badan jasmani dan rohani.
2) Ahli
di bidang pekerjaannya.
3) Berpendidikan
setara dengan pekerjaannya.
4) Ulet
dan disiplin.
5) Mempunyai
motivasi yang mencukupi.
6) Terlatih
bekerja dengan menerapkan keselamatan dan kesehatan kerja.
3. Standar
Lingkungan Tempat Kerja
Standar lingkungan tempat kerja
mencakup hal-hal sebagai berikut.
1) Standar
potensi bahaya faktor fisika di tempat kerja
2) Standar
potensi bahaya faktor kimia di tempat kerja
4. Standar
Peralatan Kerja
Permenakertrans No per-01/men/1980
Bab 2 tentang tempat kerja dan alat
alat kerja pasal 5 yang berbunyi :
1) Disetiap
tempat kerja harus dilengkapi dengan sarana untuk keperluan keluar masuk dengan
aman
2) Tempat-tempat
kerja, tangga-tangga, lorong-lorong dan gang- gang tempat bekerja atau sering
dilalui, harus dilengkapi dengan penerangan yang cukup sesuai dengan ketentuan
yang berlaku
2.3 Peraturan tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan hal yang penting dan harus mendapatkan perhatian serius. Perhatian dunia
internasional terhadap keselamatan dan kesehatan kerja semakin tinggi sejak lahirnya Occupational and Safety Management Systems atau sering disingkat OHSAS 18001: 1999
diterbitkan oleh British Standard
International (BSI) dan badan-badan sertifikasi dunia yang berisi standard manajemen K3. Indonesia
juga memiliki perhatian serius terhadap keselamatan dan kesehatan kerja. Hal ini dibuktikan dengan diterbitkan nya beberapa aturan yang terkait dengan keselamatan dan kesehatan kerja. (Triyono, 2014)
Menurut Supriyadi (2018), peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan keselamatan dan kesehatan kerja adalah sebagai berikut.
1.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
2.
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
3.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian
4.
Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi
5.
Undang-Undang No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
6.
Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
7.
Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
8.
Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelengaraan Jaminan Sosial
9.
Undang-Undang No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian
10.
Undang-Undang No. 11 Tahun 2014 tentang Keinsinyuran
11.
Undang-Undang No. 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi
12.
Undang-Undang No. 36 Tahun 2014 tentang Kesehatan
13.
Undang-Undang No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi
2.3.1
Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
Menurut Supriyadi (2018), isi dari Undang-Undang
No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja adalah sebagai berikut.
BAB 1
TENTANG ISTILAH-ISTILAH
Pasal 1
1. Tempat
kerja
Tempat kerja terdiri atas.
a.
Ruangan/lapangan
b. Tertutup/terbuka
c. Bergerak/tetap
2. Pengurus
Pengurus adalah pucuk pimpinan (bertanggung
jawab/kewajiban)
3.
Pengusaha.
Pengusaha adalah orang/badan hukum yang
menjalankan usaha atau tempat kerja.
4.
Direktur
Direktur adalah pelaksana UU No.
1/1970 (diatur oleh Kepmen No. 79/Men/1977).
5. Pegawai
pengawas
Pegawai pengawas mengawasi ketenagakerjaan.
6. Ahli
Keselamatan Kerja
Ahli keselamatan kerja adalah tenaga
teknis berkeahlian khusus dari luar Depnaker.
BAB II
RUANG LINGKUP
Pasal 2
1. Tempat
kerja
Tempat
kerja dalam wilayah hukum Republik Indonesia terdiri atas.
a.
Darat, dalam tanah
b.
Permukaan air, dalam air
c.
Udara
2. Rincian
Tempat Kerja
Rincian
tempat kerja terdapat sumber bahaya yg berkaitan sebagai berikut.
a. Keadaan
mesin/ alat/ bahan
b. Lingkungan
kerja
c. Sifat
pekerjaan
d. Cara
kerja
e. Proses
produksi
3. Kemungkinan
untuk perubahan atas rincian tempat kerja
BAB III
SYARAT-SYARAT
KESELAMATAN KERJA
Pasal 3
1. Arah
dan sasaran yang akan dicapai melalui syarat-syarat keselamatan dan kesehatan
kerja.
2. Pengembangan
syarat-syarat keselamatan dan kesehatan kerja di luar ayat (1) IPTEK.
Pasal 4
1.
Penerapan syarat-syarat keselamatan dan kesehatan
kerja sejak tahap perencanaan s.d pemeliharaan.
2.
Mengatur prinsip-prinsip teknis tentang bahan dan
produksi teknis
3.
Kecuali ayat (1) dan (2) bila terjadi perkembangan
IPTEK dapat ditetapkan lebih lanjut.
BAB IV
PENGAWASAN
Pasal 5
1. Direktur
sebagai pelaksana umum
2. Wewenang
dan kewajiban pengurus adalah sebagai berikut.
a.
Direktur (diatur oleh Kepmen
No. 79/Men/1977)
b. Pegawai Pengawas (diatur
oleh Permen No. 03/Men/1978 dan Permen No. 03/Men/1984)
c. Ahli
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (diatur
oleh Permen No. 03/Men/1978 dan Permen No. 4/Men/1992)
Pasal 6
Panitia
banding (ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja).
Pasal 7
Retribusi
Pasal 8
1. Pengurus
diwajibkan memeriksakan kesehatan tenaga kerja
2. Berkala (diatur oleh Permen
No. 02/Men/1980 dan Permen No. 03/Men/1983)
BAB V
PEMBINAAN
Pasal 9
1. Pengurus
wajib menunjukan dan menjelaskan tenaga kerja baru
2. Dinyatakan
mampu dan memahami pekerja
3. Pengurus
wajib pembinaan
4. Pengurus
wajib memenuhi dan mentaati syarat-syarat keselamatan dan kesehatan kerja
PANITIA
PEMBINA KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA
Pasal 10
Panitia
Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (diatur oleh Permenaker No.
04/Men/1984)
BAB VII
KECELAKAAN
Pasal 11
1. Kewajiban
pengurus untuk melaporkan kecelakaan
2. Tata
cara pelaporan dan pemeriksaan kecelakaan (diatur oleh Permen No. 03/Men/1998)
BAB VIII
KEWAJIBAN DAN HAK TENAGA
KERJA
Pasal 12
1.
Memberi keterangan yang benar (dimintai oleh
Pegawai Pengawas dan ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja)
2. Memakai
APD
3. Memenuhi
dan mentaati semua syarat-syarat keselamatan dan kesehatan kerja
4. Meminta
kepada pengurus agar dilaksanakan syarat-syarat keselamatan dan kesehatan kerja
5. Menyatakan
keberatan kerja bila syarat-syarat keselamatan dan kesehatan kerja tidak dipenuhi dan APD yang wajib diragukan
BAB IX
KEWAJIBAN BILA MEMASUKI
TEMPAT KERJA
Pasal 13
Barangsiapa
akan memasuki suatu tempat kerja diwajibkan
menaati
K3 dan APD
BAB X
KEWAJIBAN PENGURUS
Pasal 14
1.
Menempatkan syarat-syarat K3 di tempat kerja (UU
No. 1/1970 dan peraturan pelaksananya)
2. Memasang
poster K3 dan bahan pembinaan K3
3. Menyediakan
APD secara cuma-cuma
BAB XI
KETENTUAN-KETENTUAN
PENUTUP
Pasal 15
1. Pelaksanaan
ketentuan pasal-pasal di atur lebih lanjut
dengan
peraturan perundangan
2. Ancaman
pidana atas pelanggaran adalah sebagai berikut.
a.
Maksimum 3 bulan kurungan atau
b. Denda
maksimum Rp. 100.000
3. Tindak
pindana tersebut adalah pelanggaran
Pasal 16
Kewajiban
pengusaha memenuhi ketentuan undang-undang ini paling lama setahun (12 Januari 1970)
Pasal 17
Aturan
peralihan untuk memenuhi keselamatan kerja VR 1910 tetap berlaku selama tidak bertentangan
Pasal 18
Menetapkan
UU No. 1/ 1970 sebagai undang-undang keselamatan kerja dalam LNRI No. : 1918 mulai tanggal 12
Januari 1970
2.3.2
Undang – undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenaga
kerjaan
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
1.
Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja
pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.
2. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna
menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun
untuk masyarakat.
3. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
4.
Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau
badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
5.
Pengusaha adalah:
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu
perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri
sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di
Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang
berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
BAB II
LANDASAN, ASAS, DAN TUJUAN
Pasal 2
Pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pasal 3
Pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan
melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah.
Pasal 4
Pembangunan ketenagakerjaan bertujuan:
a. memberdayakan dan
mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi;
b. mewujudkan pemerataan
kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan
pembangunan nasional dan daerah;
c.
memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan
kesejahteraan; dan d. meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.
BAB III
KESEMPATAN DAN PERLAKUAN YANG SAMA
Pasal 5
Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi
untuk memperoleh pekerjaan.
Pasal 6
Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang
sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.
BAB IV
PERENCANAAN TENAGA KERJA DAN
INFORMASI KETENAGAKERJAAN
Pasal 7
1.
Dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan, pemerintah menetapkan
kebijakan dan menyusun perencanaan tenaga kerja.
2.
Perencanaan tenaga kerja meliputi :
a.
perencanaan tenaga kerja makro; dan
b.
perencanaan tenaga kerja mikro.
3.
Dalam penyusunan kebijakan, strategi, dan pelaksanaan program pembangunan
ketenagakerjaan yang berkesinambungan, pemerintah harus berpedoman pada
perencanaan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 8
1.
Perencanaan tenaga kerja disusun atas dasar informasi ketenagakerjaan
yang antara lain meliputi :
a.
penduduk dan tenaga kerja;
b.
kesempatan kerja;
c.
pelatihan kerja termasuk kompetensi kerja;
d.
produktivitas tenaga kerja;
e.
hubungan industrial;
f.
kondisi lingkungan kerja;
g.
pengupahan dan kesejahteraan tenaga kerja; dan
h.
jaminan sosial tenaga kerja.
2.
Informasi ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diperoleh
dari semua pihak yang terkait, baik instansi pemerintah maupun swasta.
3.
Ketentuan mengenai tata cara memperoleh informasi ketenagakerjaan dan
penyusunan serta pelaksanaan perencanaan tenaga kerja sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB V
PELATIHAN KERJA
Pasal
9
Pelatihan kerja diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali,
meningkatkan, dan mengembangkan kompetensi kerja guna meningkatkan kemampuan,
produktivitas, dan kesejahteraan.
Pasal 10
1. Pelatihan kerja
dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan pasar kerja dan dunia usaha, baik
di dalam maupun di luar hubungan kerja.
2.
Pelatihan kerja diselenggarakan berdasarkan program pelatihan yang
mengacu pada standar kompetensi kerja.
Pasal 11
Setiap tenaga kerja berhak untuk memperoleh dan/atau
meningkatkan dan/atau mengembangkan kompetensi kerja sesuai dengan bakat,
minat, dan kemampuannya melalui pelatihan kerja.
BAB VI
PENEMPATAN TENAGA KERJA
Pasal 31
Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk
memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang
layak di dalam atau di luar negeri.
Pasal 32
1.
Penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas, obyektif,
serta adil, dan setara tanpa diskriminasi.
2.
Penempatan tenaga kerja diarahkan untuk menempatkan tenaga kerja pada
jabatan yang tepat sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan
kemampuan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi, dan perlindungan
hukum.
3.
Penempatan tenaga kerja dilaksanakan dengan memperhatikan pemerataan
kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan program
nasional dan daerah.
Pasal 33
Penenmpatan tenaga kerja terdiri dari:
a.
penempatan tenaga kerja di dalam negeri; dan
b.
penempatan tenaga kerja di luar negeri.
Pasal 34
Ketentuan mengenai penempatan tenaga kerja di luar negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf b diatur dengan undang-undang.
BAB VII
PERLUASAN KESEMPATAN KERJA
Pasal 39
1. Pemerintah bertanggung jawab mengupayakan perluasan kesempatan kerja
baik di dalam maupun di luar hubungan kerja.
2. Pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengupayakan perluasan kesempatan
kerja baik di dalam maupun di luar hubungan kerja.
Pasal 40
1. Perluasan kesempatan kerja di luar hubungan kerja dilakukan melalui
penciptaan kegiatan yang produktif dan berkelanjutan dengan mendayagunakan
potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan teknologi tepat guna.
2. Penciptaan perluasan kesempatan
kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan pola pembentukan dan
pembinaan tenaga kerja mandiri, penerapan sistem padat karya, penerapan
teknologi tepat guna, dan pendayagunaan tenaga kerja sukarela atau pola lain
yang dapat mendorong terciptanya perluasan kesempatan kerja.
Pasal 41
1.
Pemerintah menetapkan kebijakan ketenagakerjaan dan perluasan kesempatan
kerja.
2.
Pemerintah dan masyarakat bersama-sama mengawasi pelaksanaan kebijakan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
3.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat
dibentuk badan koordinasi yang beranggotakan unsur pemerintah dan unsur
masyarakat.
4.
Ketentuan mengenai perluasan kesempatan kerja, dan pembentukan badan
koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, Pasal 40, dan ayat (3) dalam
pasal ini diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
PENGGUNAAN TENAGA KERJA ASING
Pasal 42
1. Setiap pemberi kerja yang
mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari Menteri atau
pejabat yang ditunjuk.
2.
Pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan tenaga kerja
asing.
3. Kewajiban memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak
berlaku bagi perwakilan negara asing yang mempergunakan tenaga kerja asing
sebagai pegawai diplomatik dan konsuler.
Pasal 43
1. Pemberi kerja yang
menggunakan tenaga kerja asing harus memiliki rencana penggunaan tenaga kerja
asing yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
2. Rencana penggunaan tenaga
kerja asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat
keterangan :
a. alasan penggunaan tenaga
kerja asing;
b. jabatan dan/atau kedudukan
tenaga kerja asing dalam struktur organisasi perusahaan yang bersangkutan;
c. jangka waktu penggunaan
tenaga kerja asing; dan
d. penunjukan tenaga kerja
warga negara Indonesia sebagai pendamping tenaga kerja asing yang dipekerjakan.
3. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi
instansi pemerintah, badan-badan internasional dan perwakilan negara asing.
Pasal 44
1. Pemberi kerja tenaga kerja asing wajib menaati ketentuan mengenai
jabatan dan standar kompetensi yang berlaku.
2. Ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.
BAB IX
HUBUNGAN KERJA
Pasal
50
Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha
dan pekerja/buruh.
Pasal 51
1.
Perjanjian kerja dibuat secara tertulis atau lisan.
2. Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 52
1.
Perjanjian kerja dibuat atas dasar:
a.
kesepakatan kedua belah pihak;
b.
kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c.
adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
d.
pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan, dan peraturan perundang- undangan yang berlaku.
2.
Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b dapat dibatalkan.
3.
Perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang bertentangan dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dan d batal demi hukum.
Pasal 53
Segala hal dan/atau biaya yang diperlukan bagi
pelaksanaan pembuatan perjanjian kerja dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung
jawab pengusaha.
BAB X
PERLINDUNGAN, PENGUPAHAN, DAN
KESEJAHTERAAN
Paragraf
1 (Penyandang Cacat)
Pasal
67
1.
Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja penyandang cacat wajib
memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya.
2. Pemberian perlindungan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Paragraf
2 (Anak)
Pasal 68
Pengusaha dilarang mempekerjakan anak.
Pasal 69
1. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat dikecualikan bagi
anak yang berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas)
tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan
dan kesehatan fisik, mental, dan sosial.
2. Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan:
a.
izin tertulis dari orang tua atau wali;
b.
perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali
c.
dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah
d.
adanya hubungan kerja yang jelas; dan
e.
menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
3.
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a, b, f, dan g
dikecualikan bagi anak yang bekerja pada usaha keluarganya.
Pasal 70
1.
Anak dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja yang merupakan bagian
dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang
berwenang.
2. Anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit berumur 14
(empat belas) tahun.
3. Pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan dengan
syarat:
a. diberi petunjuk yang jelas
tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta bimbingan dan pengawasan dalam
melaksanakan pekerjaan; dan
b. diberi perlindungan
keselamatan dan kesehatan kerja.
BAB XI
HUBUNGAN INDUSTRIAL
Bagian Kesatu
(Umum)
Pasal 102
1.
Dalam melaksanakan hubungan industrial, pemerintah mempunyai fungsi
menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, dan
melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan
ketenagakerjaan.
2. Dalam melaksanakan hubungan industrial, pekerja/buruh dan serikat
pekerja/serikat buruhnya mempunyai fungsi menjalankan pekerjaan sesuai dengan
kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi
secara demokratis, mengembangkan keterampilan, dan keahliannya serta ikut
memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejahteraan anggota beserta
keluarganya.
3. Dalam melaksanakan hubungan industrial, pengusaha dan organisasi
pengusahanya mempunyai fungsi menciptakan kemitraan, mengembangkan usaha,
memperluas lapangan kerja, dan memberikan kesejahteraan pekerja/buruh secara
terbuka, demokratis, dan berkeadilan.
Pasal 103
Hubungan industrial dilaksanakan melalui sarana:
a.
serikat pekerja/serikat buruh;
b.
organisasi pengusaha;
c.
lembaga kerja sama bipartit;
d.
lembaga kerja sama tripartit;
e.
peraturan perusahaan;
f.
perjanjian kerja bersama;
g.
peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan; dan
h.
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Bagian Kedua (Serikat
Pekerja/Serikat Buruh)
Pasal 104
1. Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat
pekerja/serikat buruh.
2. Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102, serikat
pekerja/serikat buruh berhak menghimpun dan mengelola keuangan serta
mempertanggungjawabkan keuangan organisasi termasuk dana mogok.
3. Besarnya dan tata cara pemungutan dana mogok sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) diatur dalam anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga serikat
pekerja/serikat buruh yang bersangkutan.
Bagian Ketiga (Organisasi
Pengusaha)
Pasal 105
1.
Setiap pengusaha berhak membentuk dan menjadi anggota organisasi
pengusaha.
2.
Ketentuan mengenai organisasi pengusaha diatur sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Bagian
Keempat (Lembaga Kerja Sama Bipartit)
Pasal 106
1. Setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 (lima puluh) orang pekerja/buruh
atau lebih wajib membentuk lembaga kerja sama bipartit.
2.
Lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berfungsi sebagai forum komunikasi, dan konsultasi mengenai hal ketenagakerjaan
di perusahaan.
3.
Susunan keanggotaan lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) terdiri dari unsur pengusaha dan unsur pekerja/buruh yang
ditunjuk oleh pekerja/buruh secara demokratis untuk mewakili kepentingan
pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
4. Ketentuan mengenai tata cara pembentukan dan susunan keanggotaan lembaga
kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) diatur
dengan Keputusan Menteri.
Bagian Kelima (Lembaga
Kerja Sama Tripartit)
Pasal 107
1.
Lembaga kerja sama tripartit memberikan pertimbangan, saran, dan
pendapat kepada pemerintah dan pihak terkait dalam penyusunan kebijakan dan
pemecahan masalah ketenagakerjaan.
2.
Lembaga Kerja sama Tripartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
terdiri dari:
a. Lembaga Kerja sama Tripartit Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/ Kota;
dan
b. Lembaga Kerja sama Tripartit Sektoral Nasional, Provinsi, dan
Kabupaten/Kota.
3. Keanggotaan Lembaga Kerja sama Tripartit terdiri dari unsur pemerintah,
organisasi pengusaha, dan serikat pekerja/serikat buruh.
4. Tata kerja dan susunan organisasi Lembaga Kerja sama Tripartit
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2.3.3
Peraturan Pemerintah terkait Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Menurut Supriyadi (2018), peraturan
pemerintah terkait keselamatan dan kesehatan kerja adalah sebagai berikut.
1. Peraturan Pemerintah Tahun 1930 tentang Peraturan Uap
2. Peraturan Pemerintan No. 7 Tahun 1973 tentang Pengawasan atas Peredaran
3. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1973 tentang Pengaturan dan Pengawasan
Keselamatan Kerja di Bidang Pertambangan
4. Peraturan Pemerintan No. 14 Tahun 1979 tentang Keselamatan Kerja pada
Pemurnian
dan Pengolahan Minyak dan Gas Bumi
5. Peraturan Pemerintan No. 14 Tahun 1979 tentang Penyelenggaraan Program
Jaminan
Sosial Tenaga Kerja
2.3.4
Peraturan Menteri terkait Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Menurut Supriyadi (2018), peraturan
menteri terkait kesehatan dan keselamatan kerja adalah sebagai berikut.
1.
Permenakertrans No. 08/MEN/VII/2010 tentang Pelindung Diri.
2.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. Per. 01/MEN/1980
tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Konstruksi Bangunan
3.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. Per. 04/MEN/1980
tentang Syarat Pemasangan dan Pemeliharaan Alat Pemadam Api Ringan
4.
Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. Per. 02/MEN/1980
tentang Pemeriksaan Tenaga Kerja dalam Penyelenggaraan Keselamatan Kerja.
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan makalah standar aturan
keselamatan dan kesehatan kerja ini, kami menyimpulkannya sebagai berikut.
1. Standar keselamatan dan
kesehatan kerja memiliki standarnya masing--masing, dari standar personil,
standar manajemen, standar tempat kerja, dan standar peralatan kerja yang harus
memenuhi persyaratan standar agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan untuk
pekerja.
2. Aturan keselamatan dan kesehatan
kerja sudah diatur dalam beberapa aturan dasar, yaitu
Undang--Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja,
Peratura Pemerintah tentang keselamatan dan kesehatan kerja, Peraturan Menteri
tentang keselamatan dan kesehatan kerja dan Keputusan Menteri terkait Keselamatan
dan Kesehatan Kerja.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Mondy, R. (2008). Manajemen Sumber Daya Manusia, Edisi Kesepuluh.
Jakarta: Erlangga.
[2] Supriyadi, A. (2018). 100+ Regulasi K3
2018. Cikarang: Katigaku.Top.
[3]
Triyono, M. B. (2014). Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).
Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
[4] Wibowo, H. (2018). Standar K3.
Jakarta: SlidePlayer.
[5] Wigati, Y. S. (2004). Jurnal
Standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pembahasan Keselamatan dan Kesehatan
Kerja dalam ISO .